
Manuver Militer Indonesia Membeli Banyak Alutsista Ofensif Rupanya Timbulkan Kecurigaan Pihak Lain
Militer Indonesia kini membeli alutsista yang bersifat ofensif karena kebutuhan akan taktik baru mengharuskan demikian.
Taktik preemptive strike tak bisa dilaksanakan bila militer Indonesia menggunakan alutsista lama.
Misalnya militer Indonesia masih berkutat dengan F-16 Block 15 OCU tanpa upgrade atau eMLU.
Jet tempur versi paling standar dari F-16 itu tak bisa digunakan militer Indonesia menjalankan taktik preemtive strike secara maksimal.
Kemudian contoh lain misal penggunaan korvet Parchim class.
Parchim class meski bisa berlayar di lautan dengan ombak lumayan tinggi, ia tak punya unsur senjata anti kapal permukaan mumpuni.
Memang alutsista-alutsista yang dibeli di era presiden Soeharto lebih ke taktik defensif murni.
Yakni berslogan ‘masuk dulu baru digebuk’ musuh sudah menerjang militer Indonesia baru bereaksi.
Jika dalam sepak bola istilahnya reaktif, menyesuaikan taktik lawan baru memberikan perlawanan.
Preemptive strike tidak seperti itu, militer Indonesia dituntut proaktif, mampu menyerang musuh di luar pagar batas NKRI.
Serangan ini harus cepat, tepat dan mematikan untuk langsung setidaknya meniadakan niat lawan untuk melanjutkan pertempuran.
Karena jika pertempuran berlarut-larut, Indonesia sekalian ikut rugi.
Perang berlarut menyedot berbagai sumber daya negara mulai dari manusia, anggaran, hingga moril yang semakin ambruk.
Untuk itulah Indonesia membeli berbagai persenjataan canggih bersifat ofensif.
Tujuannya mungkin cuma dua, mempersingkat jalannya peperangan dan menimbulkan efek deteren agar musuh tak jadi menyerang.
Dengan dikawal fregat FREMM, Arrowhead, Rafale hingga F-15 Eagle II bisa dipastikan lawan sudah gentar duluan sebelum berniat menyerang Indonesia.
Tujuan pembelian alutsista di atas salah satunya ya ini.
Sementara jika musuh nekat menyerang, deretan alutsista itu bisa menghajar mereka di luar pagar batas NKRI.
Rafale dan F-15 Eagle II punya persenjataan mematikan yang bisa mempersingkat umur lawan sehingga pertempuran cepat selesai.
Selain pembelian alutsista, militer Indonesia juga mendorong semua markas, lanud atau pangkalan laut ke perbatasan negara.
Tujuannya lagi-lagi untuk kepentingan taktik preemptive strike supaya para prajurit lebih dekat ke titik hot spot agar hidung mereka bisa lebih tajam mencium datangnya ancaman ke wilayah Indonesia.
Mungkin jika dilihat dirasa kenapa selama ini banyak markas militer di tengah kota memang tak lagi relevan menunjang pertahanan negara.
Jika perlu semua mayoritas markas itu dipindah saja ke perbatasan, toh kita perlu memastikan kekuatan agresor tak menyentuh wilayah Indonesia.
Meski demikian semua pergerakan dan pembelian alutsista militer yang dinilai banyak menimbulkan kecurigaan pihak lain.
Sebab militer Indonesia membeli senjata bersifat ofensif.
“Sejauh menyangkut ancaman militer dari luar tidak diragukan bahwa peningkatan kemampuan militer seperti modernisasi dan profesionalisasi merupakan salah satu pilihan.
Kali ini memang militer Indonesia harus tetap membeli alutsista canggih berdaya serang tinggi karena sekali lagi pertahanan terbaik ialah menyerang.