PTUN Tolak Gugatan Perusahaan Sawit, Hutan Suku Awyu Dikembalikan

PTUN Tolak Gugatan Perusahaan Sawit, Hutan Suku Awyu Dikembalikan

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan dua perusahaan sawit PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada Selasa (5/9).

Dengan putusan itu, 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP dikembalikan kepada masyarakat Suku Awyu, Papua Selatan.

Gugatan itu sebelumnya dilayangkan dua perusahaan tersebut setelah izin konsesi mereka dicabut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar lewat Surat Keputusan NOMOR: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Dalam gugatan itu, masyarakat Suku Awyu menjadi pihak tergugat intervensi.

“Menolak gugatan penggugat dan penggugat II intervensi untuk seluruhnya,” demikian bunyi putusan PTUN Jakarta yang diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung.

Salah satu dari enam warga Awyu yang menjadi tergugat intervensi, Gergorius Yame mengatakan dengan keluarnya putusan itu, perusahaan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut.

Perusahaan, kata Gergorius, hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.

“Ini putusan yang kami tunggu-tunggu. Cukup sudah, perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Ko (perusahaan) mau bikin apa lagi di tanah adat kami? Patuhi sudah putusan ini dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami,” ujar Gorgerius dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/9).

“Semoga dengan gugatan ini, KLHK tahu kalau perusahaan trada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP. Harapannya kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu Suku Awyu,” lanjutnya.

Informasi putusan itu juga disampaikan oleh Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua. Tim advokasi itu berasal dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

Sebelumnya, PT MJR dan PT KCP mendaftarkan gugatan mereka ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret lalu. Lewat gugatan itu, kedua perusahaan mempersoalkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penertiban dan penataan izin pelepasan kawasan hutan.

Isi surat keputusan itu antara lain mensyaratkan agar tidak melakukan pembukaan lahan berhutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit.

Adapun Gergorius Yame dan lima orang masyarakat adat Awyu lainnya mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada 9 Mei 2023.

Anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu, Sekar Banjaran Aji mengatakan dalam persidangan yang bergulir, masyarakat Awyu dan kuasa hukumnya berjuang menghadirkan bukti-bukti, saksi, hingga ahli, untuk mendukung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghadapi gugatan PT MJR dan PT KCP.

“Dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi, masyarakat adat Suku Awyu telah berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan ini,” kata Sekar.

“Sekarang saatnya bagi Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan kolega-koleganya di pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu. Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” imbuhnya.

CATEGORIES
TAGS
Share This